HUKUM DAGANG
Nama: Rahmawati Ayu D.U
Kelas: 2EB07
NPM : 27213191
HUKUM DAGANG
A. HUKUM DAGANG (KUHD)
Hukum dagang ialah
aturan-aturan hukum yang mengatur hubungan orang yang satu dengan yang lainnya,
khusunya dalam perniagaan. Hukum dagang adalah hukum perdata khusus. Pada
mulanya kaidah hukum yang kita kenal sebagi hukum dagang saat ini mulai muncul
dikalangan kaum pedagang sekitar abad ke-17. Kaidah-kaidah hukum tersebut
sebenarnya merupakan kebiasaan diantara mereka yang muncul dalam pergaulan di
bidang perdagangan.
Ada beberapa hal yang
diatur dalam KUH Perdata diatur juga dalam KUHD. Jika demikian adanya,
ketenutan-ketentuan dalam KUHD itulah yang akan berlaku. KUH Perdata merupakan
lex generalis(hukum umum), sedangkan KUHD merupakan lex specialis (hukum
khusus). Dalam hubungannya dengan hal tersebut berlaku adagium lex specialis
derogat lex generalis (hukum khusus menghapus hukum umum).
Hukum
Dagang Indonesia terutama bersumber pada :
· Hukum
tertulis yang dikofifikasikan :
a. Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang (KUHD) atau Wetboek van Koophandel Indonesia (W.v.K)
b. Kitab
Undang-Undang Hukum Sipil (KUHS) atau Burgerlijk Wetboek Indonesia (BW) 2)
Hukum tertulis yang belum dikodifikasikan, yaitu peraturan perundangan khusus
yang mengatur tentang hal-hal yang berhubungan dengan perdagangan (C.S.T.
Kansil, 1985 : 7).
Sifat hukum dagang yang
merupakan perjanjian yang mengikat pihak-pihak yang mengadakan perjanjian.
B. LATAR BELAKANG HUKUM DAGANG
DI DUNIA
Perkembangan hukum dagang
sebenarnya telah di mulai sejak abad pertengahan eropa (1000/ 1500) yang
terjadi di Negara dan kota-kota di Eropa dan pada zaman itu di Italia dan
perancis selatan telah lahir kota-kota sebagai pusat perdagangan (Genoa,
Florence, vennetia, Marseille, Barcelona dan Negara-negara lainnya ) . tetapi
pada saat itu hokum Romawi (corpus lurus civilis ) tidak dapat menyelsaikan perkara-perkara
dalam perdagangan , maka dibuatlah hokum baru di samping hokum Romawi yang
berdiri sendiri pada abad ke-16 & ke- 17 yang berlaku bagi golongan yang
disebut hokum pedagang (koopmansrecht) khususnya mengatur perkara di bidang
perdagangan (peradilan perdagangan ) dan hokum pedagang ini bersifat unifikasi.
C. TUJUAN
HUKUM DAGANG
Keterangan yang telah
dikemukakan memiliki sebuah kesimpulan yaitu hukum selalu melekat pada manusia
bermasyarakat. Dengan berbagai peran hukum, maka hukum memiliki fungsi:
“menertibkan dan mengatur pergaulan dalam masyarakat serta menyelesaikan
masalah-masalah yang timbul”. Lebih rincinya, fungsi hukum dalam perkembangan
masyarakat dapat terdiri dari:
1. Sebagai
alat pengatur tata tertib hubungan masyarakat: dalam arti, hukum berfungsi
menunjukkan manusia mana yang baik, dan mana yang buruk, sehingga segala
sesuatu dapat berjalan tertib dan teratur.
2. Sebagai sarana untuk
mewujudkan keadilan sosial lahir dan batin: dikarenakan hukum memiliki sifat
dan ciri-ciri yang telah disebutkan, maka hukum dapat memberi keadilan, dalam
arti dapat menentukan siapa yang salah, dan siapa yang benar, dapat memaksa
agar peraturan dapat ditaati dengan ancaman sanksi bagi pelanggarnya.
3. Sebagai
sarana penggerak pembangunan: daya mengikat dan memaksa dari hukum dapat
digunakan atau didayagunakan untuk menggerakkan pembangunan. Di sini hukum
dijadikan alat untuk membawa masyarakat ke arah yang lebih maju.
4. Sebagai penentuan alokasi
wewenang secara terperinci siapa yang boleh melakukan pelaksanaan (penegak)
hukum, siapa yang harus menaatinya, siapa yang memilih sanksi yang tepat dan
adil: seperti konsep hukum konstitusi negara.
5. Sebagai alat penyelesaian
sengketa: seperti contoh persengekataan harta waris dapat segera selesai dengan
ketetapan hukum waris yang sudah diatur dalam hukum perdata.
6. Memelihara
kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan kondisi kehidupan yang
berubah, yaitu dengan cara merumuskan kembali hubungan-hubungan esensial antara
anggota-anggota masyarakat.
Dari sekian penegertian,
unsur, ciri-ciri, sifat, dan fungsi hukum, maka tujuan dari perwujudan hukum
itu haruslah ada. Sesuai dengan banyaknya pendapat tentang pengertian hukum,
maka tujuan hukum juga terjadi perbedaan pendapat antara satu ahli dengan ahli
yang lain.
D. PENYELESAIAN
SENGKETA DAGANG
Transaksi
perdagangan internasional yang berpotensi menimbulkan sengketa perdagangan
internasional membutuhkan suatu mekanisme penyelesaian yang
disepakati akan digunakan oleh kedua belah pihak yang bersengketa, oleh karena
itu permasalahan dalam penulisan makalah ini adalah bagaimana bentuk
penyelesaian sengketa perdagangan internasional dilakukan?
1. World Trade
Organization (WTO)
WTO
(World Trade Organization) merupakan sebuah organisasi perdagangan internasional
yang didirikan pada tahun 1994. WTO bertujuan untuk mengatur sistem perdagangan
dunia. Sebelum WTO terbentuk, sebuah perjanjian mengenai tarif dan perdagangan
sudah terbentuk pada tahun 1947 yang disebut dengan GATT (General Agremeents on
Tariffs and Trade). GATT merupakan cikal bakal lahirnya WTO. Pada dasarnya GATT
memberikan dua pengaturan dasar dalam rezim perdagangan internasional, yaitu:
a.Membuat ketentuan-ketentuan untuk merendahkan dan menghapuskan
tarif, dan
b. Membuat
kewajiban untuk mencegah atau menghapuskan jenis-jenis hambatan dan rintangan
terhadap perdangangan (non-tariff barriers).
Seiring
perkembangannya, GATT beberapa kali melakukan beberapa putaran negosiasi (round
of negotiations). Pada tahap Putaran Uruguay (Uruguay Round) yang
berlangsung pada tahun 1986-1993, diputuskan bahwa perlu dibuat sebuah lembaga
yang mengatur sistem perdagangan multilateral, sehingga pada tahun 1994
lahirlah WTO. Struktur dari WTO terdiri dari: The Ministerial Conference, The
General Council, The Trade Policy Review Body, The Dispute Settlement Body, The
Councils on Trade in Goods and Trade in Services dan The Council for
Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights.
2. Ketentuan
dalam Perjanjian-Perjanjian WTO
A. The General
Agreement on Tariffs and Trade
a. Pasal I dan
III: Non-diskriminasi (Non-discrimination)
Dalam
GATT, terdapat dua prinsip utama mengenai non-diskriminasi dalam hukum
perdagangan internasional. Prinsip pertama adalah most-favoured nation (MFN)
yang dinyatakan dalam Pasal I GATT. Prinsip MFN menyatakan bahwa segala bentuk
perlakuan khusus yang diberikan suatu negara ke negara lain, maka perlakuan
khusus tersebut juga harus diberikan kepada negara-negara peserta GATT/WTO
lainnya. Perlakuan ini harus diberikan tanpa syarat dan mencakup juga kepada
(i) bea masuk dan biaya-biaya, (ii) seluruh peraturan dan formalitas mengenai
ekspor dan impor, (iii) pajak internal, biaya-biaya, dan peraturan domestik
dari produksi, penjualan dan penggunaan dari sebuah produk. Prinsip kedua
adalah prinsip national treatment pada Pasal III GATT. Prinsip ini menyatakan
bahwa sebuah produk yang berasal dari negara lain akan diperlakukan sama
selayaknya produk-produk nasional dari suatu negara.
b. Pasal XI:
Pembatasan Kuantitatif dan perizinan(Quantitative restrictions and licenses)
Pasal
XI GATT memberikan berbagai pembatasan-pembatasan bagi negara peserta dalam hal
membatasi perdagangan internasional. Para pihak dapat menggunakan berbagai
pembatasan selain quota impor/ekspor perizinan dan berbagai hal yang berkaitan
dengan ekspor/impor
barang.
c. Pasal XX:
Pengecualian terhadap Lingkungan
Pasal
XX GATT merupakan pasal terpenting dalam hal hubungan antara perdagangan dengan
lingkungan. Pasal ini menyatakan dua pengecualian dalam perdagangan dengan
dasar perlindungan lingkungan, yaitu:
1. Keperluan
untuk melindungi kehidupan manusia, hewan atau tanaman...(butir b);
2. Berhubungan
dengan konservasi sumber daya alam yang terbatas, jika upaya tersebut dibuat
secara efektif dalam hubungan dengan pembatasan produksi domestic atau konsumsi
(butir g).
B. The
Agreement on Technical Barriers to Trade
Perjanjian
ini mengatur mengenai batasan-batasan berupa non-tarif yang dapat diberlakukan
dalam perdagangan internasional. Pada perjanjian ini, intinya mengatur dua hal,
yaitu mengakui bahwa setiap ngeara anggota mempunyai hak untuk memberlakukan
standar teknis suatu barang maupun jasa sesuai dengan ukuran nasionalnya
masing-masing, dan mengatur agar standar tersebut tidak menimbulkan hambatan
yang tidak perlu terhadap perdagangan internasional.
3. Penyelesaian
Sengketa dalam WTO
Pada
masa sebelum WTO terbentuk, para pihak dalam GATT sudah memiliki mekanisme
pengaturan penyelesaian sengketa yang diatur dalam GATT 1947, yaitu pada Pasal
XXII dan XXIII. Kedua pasal ini mengedepankan metode konsultasi dalam rangka
penyelesaian sengketa yang terjadi antara kedua belah pihak. Seiring
berkembangnya waktu, penyempurnaan terhadap mekanisme penyelesaian sengketa ini
pun dilakukan, antara lain dengan berbagai perjanjian dan keputusan yang
dibuat, yaitu:
b. The
Understanding on Notification, Consultation, Dispute Settlement and Surveillance,
adopted on 28 November 1979;
c. The
Decision on Dispute Settlement, dalam Ministerial Declaration of 29 November
1982;
d. The
Decision on Dispute Settlement of 30 November 1984.
Perubahan
yang paling mencolok dalam perkembangan mekanisme penyelesaian sengketa adalah
ketika diadopsi sebuah keputusan yang dinamakan Annex III Decision of
12 April 1989 on Improvements to the GATT Dispute Settlement Rules and
Procedures. Pada keputusan ini, diberikan sebuah mekanisme baru, yaitu panel
reports (laporan panel), dimana para pihak dapat menyelesaikan
sengketa melalui panel ini, jika metode konsultasi tidak berhasil. Laporan
panel ini diberikan dan diputuskan oleh GATT Council.
WTO
kini memliki sebuah badan penyelesaian sengketa yang dipimpin oleh Dispute
Settlement Body (DSB) dan diatur dalamUnderstanding on Rules and Procedures
Governing the Settlement of Disputes yang diadopsi pada tahun 1994.
Penyelesaian sengketa dalam WTo harus melalui beberapa tahap, yaitu:
1) Konsultasi (Consultation)
Para peserta
diwajibkan untuk menyelesaikan sengketa melalui konsultasi terlebih dahulu.
Jika dalam 60 hari tidak membuahkan hasil, maka penggugat dapat meminta DSB
untuk mendirikan sebuah Panel.
2) Panel (The
Panel)
Panel
terdiri dari 3 orang dalam memutuskan kasus yang terjadi dalam sebuah proses
peradilan semu. Panel akan memberikan laporan (report) yang akan disirkulasikan
selama 9 bulan setalah panel dibentuk. Laporan ini akan berlaku kecuali ditolak
secara konsensus atau adanya upaya banding.
3) Banding (Appeal)
Banding
diajukan kepada Appellate Body (yang terdiri dari 3 anggota yang dipilih secara
acak). Appellate Body dapat memperkuat, menambahkan, bahkan merubah fakta-fakta
hukum dan kesimpulan dalam laporan yang dibuat oleh Panel, yang telah
dikeluarkan dalam jangka 60-90 hari.
4) Pengawasan
dari Pelaksanaan (Surveillance on Implementation)
Anggota
yang terbukti melanggar, harus melaksanakan kewajibannya setelah 30 hari
putusan diadopsi DSB. Jika anggota tersebut gagal menjalankan kewajibannya
(dalam jangka waktu tertentu, pada umumnya 8-15 bulan), maka kedua negara dapat
bernegoisasi untuk menyepakati sebuah kompensasi. Jika hal ini masih tetap
tidak berhasil, maka pihak yang menang dapat memohon izin kepada DSB untuk
menerapkan pembalasan dalam bentuk sanksi perdagangan atau bentuk lainnya.
Butir b
mensyaratkan bahwa sebuah upaya bersifat “dibutuhkan” (necessary) dalam
rangka melindungi lingkungan. Untuk memenuhi syarat ini, maka negara
diharuskan:
a.Membuktikan adanya sebuah kebutuhan untuk melindungi lingkungannya
sendiri;
b.Membuktikan adanya sebuah upaya yang berkaitan dengan
perdagangan dalam rangka melakukan perlindungan tersebut; dan
c. Jika
sebuah upaya yang berkaitan dengan perdangangan dibutuhkan, maka harus
dipastikan upaya tersebut merupakan pembatasan perdagangan pada tingkat paling
rendah dalam mencapai tujuan perlindungan lingkungan.
4. The
Agreement on the Application of Sanitary and Phytosanitary Measures (SPS)
Perjanjian
ini memberikan standar-standar yang dibutuhkan untuk melindungi manusia, hewan
dan tumbuhan dari bahaya-bahaya tertentu yang tercipta akibat perpindahan
tanaman, hewan dan bahan makanan dalam perdagangan. Perlindungan yang ingin
dicapai oleh mayoritas negara-negara adalah dari:
a. Resiko
yang berasal dari hama, penyakit, dan organisme pembawa penyakit yang masuk ke
dalam wilayah negaranya bersama produk-produk yang diperdagangkan; dan
b. Resiko
dari bahan kimia, pupuk, pestisida dan herbisida, racun, obat untuk hewan dalam
bahan makanan, minuman atau pakan hewan.
Kesepakatan
ini juga mengatur hal-hal tertentu yang harus dipenuhi agar standar tersebut
dapat dibenarkan, misalnya suatu standar SPS tidak boleh melebihi standar yang
sudah berlaku secara internasional.
E. FORUM
PENYELESAIAN SENGKETA
1. Negosiasi
Kohona mengatakan bahwa negosiasi adalah "an efficacious
means of settling disputes relating to an agreement, because they enable parties
to arrive at conclusions having regard to the wishes of all the disputants."
Kelemahan utama dalam penggunaan cara ini dalam menyelesaikan
sengketa adalah: pertama, manakala para pihak berkedudukan tidak seimbang.
Salah satu pihak kuat, yang lain lemah. Dalam keadaan ini, salah satu pihak
kuat berada dalam posisi untuk menekan pihak lainnya. Hal ini acapkali terjadi
manakala dua pihak bernegosiasi untuk menyelesaikan sengketanya di antara
mereka.
Kelemahan kedua adalah bahwa proses berlangsungnya negosiasi
acapkali lambat dan bisa memakan waktu lama. Ini terutama karena sulitnya
permasalahan-permasalahan yang timbul di antara para pihak. Selain itu jarang
sekali adanya persyaratan penetapan batas waktu bagi para pihak untuk
menyelesaian sengketanya melalui negosiasi ini
Kelemahan ketiga, adalah manakala suatu pihak terlalu keras
dengan pendiriannya. Keadaan ini dapat mengakibatkan proses negosiasi ini
menjadi tidak produktif.
2. Mediasi
a. Melalui
pihak ketiga Usulan-usulan
penyelesaian informal
b. A
quick, cheap and effective result.
c. Penyelesaian
melalui mediasi tidak mengikat.
3. Konsiliasi
a. Konsiliasi
lebih formal daripada mediasi
b. Komisi
konsiliasi
c. Tahap
tertulis dan lisan
4. Arbitrase
a. Arbitrase
adalah penyerahan sengketa secara sukarela kepada pihak ketiga yang netral.
Pihak ketiga ini bisa individu, arbitrase terlembaga atau arbitrase sementara (ad
hoc).
b. Adapun
alasan utama mengapa badan arbitrase ini semakin banyak dimanfaatkan adalah
sebagai berikut:
· kelebihan
penyelesaian sengketa melalui arbitrase yang pertama dan terpenting adalah
penyelesaiannya yang relatif lebih cepat daripada proses berperkara melalui
pengadilan.
· Sifat
kerahasiaannya. Baik kerahasiaan mengenai persidangannya maupun kerahasiaan
putusan arbitrasenya.
· Dalam penyelesaian melalui arbitrase, para
pihak memiliki kebebasan untuk memilih ‘hakimnya’ (arbiter) yang menurut mereka
netral dan akhli atau spesialis mengenai pokok sengketa yang mereka hadapi.
· Keuntungan lainnya dari badan arbitrase ini adalah
dimungkinkannya para arbiter untuk menerapkan sengketanya berdasarkan kelayakan
dan kepatutan (apabila memang para pihak menghendakinya).
· Dalam hal
arbitrase internasional, putusan arbitrasenya relative lebih dapat dilaksanakan
di negara lain dibandingkan apabila sengketa tersebut diselesaikan melalui
misalnya pengadilan.
Penyerahan suatu sengketa kepada arbitrase dapat dilakukan
dengan pembuatan suatu submission clause, yaitu penyerahan kepada
arbitrase suatu sengketa yang telah lahir. Alternatif lainnya,atau melalui
pembuatan suatu klausul arbitrase dalam suatu perjanjian sebelum sengketanya
lahir (klausul arbitrase atau arbitration clause).
Lampiran:
· KTP
REFERENSI
Komentar
Posting Komentar